Sabtu, 24 Maret 2012

karsinoma lidah


BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1  Anatomi dan Fisiologi Lidah
            Lidah dilekatkan pada dasar mulut oleh frenulum lingua. Lidah berfungsi untuk menggerakkan makanan saat dikunyah atau ditelan, untuk pengecapan dan dalam produksi wicara.
a.       Otot-otot ekstrinsik lidah berawal pada tulang dan jaringsn diluar lidah serta berfungsi dalam pergerakan lidah secara keseluruhan.
b.      Otot-otot intrinsik lidah memiliki serabut yang menghadap keberbagai arah untuk membentuk sudut  satu sama lain. Ini memberikan mobilitas yang besar pada lidah.
c.       Papila adalah elevasi jaringan mukosa dan jaringan ikat pada permukaan dorsal lidah. Papila-papila ini menyebabkan tekstur lidah menjadi kasar.
1.      Papila fungiformis dan papila sirkumvalata memiliki kuncup-kuncup pengecap.
2.      Sekresi berair dari kelenjar Von Ebner, terletak di otot lidah, bercampur dengan makanan pada permukaan lidah dan membantu pengecapan rasa.
d.      Tonsil-tonsil lingua adalah agregasi jaringan limfoid pada sepertiga bagian belakang lidah (Sloane, 2003).
Gambar anatomi Lidah

Lidah secara anatomi terbagi atas 3 bagian, yakni :
1. Apek linguae (ujung lidah)
2. Corpus linguae (badan lidah)
3. Radix linguae (akar lidah)

a) Struktur-struktur Superficial Dari Lidah
Membran mukosa yang melapisi lidah yaitu dipunggung lidah, dipinggir kanan dan kiri dan disebelah muka terdapat tonjolan yang kecil-kecil disebut dengan papillae. Dasarnya papillae ini terdapat kuncup-kuncup pengecap sehingga kita dapat menerima / merasa cita rasa. Ada empat macam yaitu: papillae filiformes, papillae fungiformes, papillae circumvallatae dan papillae foliatae.
Area dibawah lidah disebut dasar mulut. Membran mukosa disini bersifat licin, elastis dan banyak terdapat pembuluh darah yang menyebabkan lidah ini mudah bergerak, serta pada mukosa dasar mulut tidak terdapat papillae. Dasar mulut dibatasi oleh otot-otot lidah dan otot-otot dasar mulut yang insertionya disebelah dalam mandibula. Disebelah dalam mandibula ini terdapat kelenjar-kelenjar ludah sublingualis dan submandibularis.

b) Otot-otot Pada Lidah
            otot-otot ekstrinsik melekatkan lidah ke bagian eksternal yaitu hioglosus, genioglosus, palatoglosus, pharingoglosus dan stiloglusus. Otot-otot intrinsik ini berjalan vertikal, transversal dan longirudinal. Dengan struktur otot ekstrinsik dan intrinsik memungkinkan lidah untuk bergerak lincah (Suyatno, 2010)

c) Persarafan Pada Lidah
            Otot-otot lidah di inervasi oleh nervus hipoglosus (N.XII). Sensasi untuk perabaan (touch sensation) dari lidah 2/3 depan dibawah oleh N. Trigeminus (N. V cabang lingualis) dan dari 1/3 belakang lidah dibawah olhe N Glosopharingeus (N. IX). Sensasi untuk pengecapan (taste sensation) dari 2/3 depan dibawah oleh N. Fasialis (VII) dan dari 1/3 belakang lidah melalui N. Glosopharingeus. Vaskularisasi lidah terutama disediakan oleh arteri lingualis(Suyatno, 2010).

d) Aliran Limfa Pada Lidah
Aliran limfa disini penting oleh karena berhubungan dengan penyebaran dini carcinoma lidah.Penyaluran limfe melalui lingua terjadi melalui 4 jalur :
1) Limfe dari bagian 1/3 posterior lingua disalurkan ke cervikalis profunda superior dikedua sisi.
2) Limfe dari bagian medial 2/3 anterior lingua disalurkan langsung ke cervicalis profunda inferior.
3) Limfe dari bagian lateral 2/3 anterior lingua disalurkan ke submandibularis
4) Limfe dari ujung lingua disalurkan ke submentalis

2.2  Pengertian Kanker Lidah
Karsinoma lidah adalah suatu tumor yang terjadi didasar mulut, kadang-kadang meluas kearah lidah dan menyebabkan gangguan mobilitas lidah (Van de Velde, 1999). Kanker lidah (2/3 anterior). Sebagian besar (40%) dari kanker rongga mulut adalah kanker lidah. Lokasi tumor paling sering adalah tepi lateral pada perbatasan antara bagian tengah dengan 1/3 belakang lidah.
Kanker lidah adalah suatu neoplasma maligna yang timbul dari jaringan epitel mukosa lidah dengan selnya berbentuk squamous cell carcinoma (cell epitel gepeng berlapis), juga beberapa penyakit-penyakit tertentu (premaligna). Kanker ganas ini dapat menginfiltrasi ke daerah sekitarnya, disamping itu dapat melakukan metastase secara limfogen dan hematogen.

2.3                 ETIOLOGI
Kanker rongga mulut memiliki penyebab yang multifaktorial dan suatu proses yang terdiri dari beberapa langkah yang melibatkan inisiasi, promosi dan perkembangan tumor. Secara garis besar, etiologi kanker lidah:
1. Tembakau: 80% penderita kanker lidah adalah perokok. Risiko perokok adalah 5-9 kali lebih besar dibandingkan bukan perokok.
2.   Alkoholisme: peminum berat mempunyai risiko 30 kali lebih besar dan efeknya sinergis dengan merokok.
3.   Infeksi virus dalam rongga mulut: Human papilloma virus (HPV) khususnya HPV 16 dan HPV 18.
4.   Oral hygiene yang jelek.
5.   Sunburn: iritasi sinar matahari dan iritasi kronis lainnya.
6.   Gaya hidup: kebiasaan mengunyah sirih.

2.4  PATOFISIOLOGI
Dasar lidah memainkan peran penting dalam berbicara dan menelan. Selama fase faring menelan, makanan dan cairan yang mendorong ke arah oropharingdari rongga mulut oleh lidah dan otot-otot pengunyahan. Laring terangkat, efektif menekan katub tenggorok dan memaksa makanan, cair, dan air liur kedalam kerongkongan hypopharynx.
Meskipun laring menghasilkan suara, lidah dan faring adalah organ utama yang membentuk suara. Kerugian jaringan dari dasar daerah lidah mencegah penutupan yang kedap air dengan laring selama tindakan menelan. Ketidaksesuaian ini memungkinkan makanan dan cairan untuk melarikan diridalam faring dan laring, koreografer dengan hati-hati mengubah reflex menelan dan sering mengakibatkan aspirasi. Baik neurologis penurunan dan perubahan dalam tindakan terkoordinasi menelan dari penyakit berbahaya didaerah ini dapat merusak mempengaruhi pada kemampuan berbicara dan menelan.
Squamous sel carcinoma pada lidah sering timbul pada daerah epithelium yang tidak normal, tetapi selain keadaan tersebut dan mudahnya dilakukan pemeriksaan mulut, lesi sering tumbuh menjadi lesi yang besar sebelum pasien akhirnya datang ke dokter gigi. Secara histologis tumor terdiri dari lapisan atau kelompok sel-sel eosinopilik yang sering disertai dengan kumparan keratinasi. Menurut tanda histology, tumor termasuk dalam derajat I-IV (Broder). Lesi yang agak jinak adalah kelompok pertama yang disebut carcinoma verukcus oleh Ackerman. Pada kelompok ini, sel tumor masuk, membentuk massa papileferuspada permukaan. Tumor bersifat pasif pada daerah permukaannya, tetapi jarang meluas ke tulang dan tidak mempunyai anak sebar. Lidah mempunyai susunan pembuluh limfe yang kaya, hal ini akan mempercepat metastase kelenjar getah bening dan dimungkinkan oleh susunan pembuluh limfe yang saling berhubungan kanan dan kiri.
Tumor yang agak jinak cenderung membentuk massa papiliferus dengan penyebaran ringan kejaringan didekatnya. Tumor paling ganas menyebar cukup dalam serta cepat ke jaringan didekatnya dengan penyebaran permukaan yang kecil, terlihat sebagai ulser nekrotik yang dalam. Sebagian besar lesi yang terlihat terletak diantara kedua batas tersebut dengan daerah nekrose yang dangkal pada bagian tengah lesi tepi yang terlipat serta sedikit menonjol. Walaupun terdapat penyebaran local yang besar, tetapi anak sebar tetap berjalan. Metastase haematogenus terjadi pada tahap selanjutnya.

2.5  MANIFESTASI KLINIS       
1.      Tanda awal umumnya berupa ulkus tanpa nyeri yang tidak sembuh-sembuh. Kemudian membesar dan menekan atau menginfiltrsi jaringan sekita yang megakibatkan nyeri lokal, otalgia ipsilateral dan nyeri mandibula (Suyatno, 2010).
2.      Infiltrasi ke otot-otot ini mengakibatkan gerakan lidah terbatas sehingga proses menelan bolus makanan dan bicara terganggu. Kanker ini dapat menginfiltrasi jaringan sekitarnya seperti dasar mulut (floor of mouth, FOM), dasar lidah dan tonsil (Suyatno, 2010).
3.      Sejalan dengan kemajuan kanker pasien dapat mengeluhkan nyeri tekan, kesulitan mengunyah, menelan, dan berbicara, batuk dengan sputum bersemu darah atau terjadi pembesaran nodus limfe servikal. (Baughman Diane C, 2000).
Bagian THT FKUI-RSCM dipakai stadium tumor (1992):
T = Menggambarkan kedaan tumor primer
T 1= Tumor terbatas pada 1 lokasi di lidah
T 2= Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di lidah.
T 3 = Tumor meluas ke retrofaring.
T 4 = Tumor meluas ke tengkorak tanpa atau sudah mengenai saraf-saraf otak.
N = Menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional.
N0 = Tidak ada pembesaran kelenjar
N 1 = Terdapat pembesaran sebuah kelenjar homolateral yang masih digerakkan dengan diameter ≤ 3cm
N 2 = Terdapat pembesaran sebuah kelenjar kontralateral/bilateral dan masih dapat digerakkan, diameter antara 3-6 cm.
N3 = Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral yang melekat pada jaringan sekitarnya atau dengan diameter lebih dari 6 cm.
M = Metastasis jauh
M 0 = Tidak ada metastasis jauh
M 1 = Terdapat metastasis jauh.





Stadium I:
T1                                      N0                               M0

Stadium II:
T2                                            N0                               M0
Stadium III:   
T1/T2/T3                                 N1                               M0
Atau T3                                   N0                               M0
Stadium IV:
T4                                            N0/N1                         M0
Atau T1/T2/T3/T4                   N2/N3                         M0
Atau T1/T2/T3/T4                   N0/N1/N2/N3             M1


2.6  Pemeriksaan Diagnosis
1.      CT-scan atau MRI dilakukan untuk menilai detail lokasi tumor, luas ekstensi tumor primer.
2.      USG hepar, Foto thorax dan bone scan untuk evaluasi adanya metastasis jauh.
3.      Biopsi
-       FNAB ( Fine Needle Apiration Biopsy), dilakukan pada tumor primer yang metastasis ke kelenjar getah bening leher.
-          Biopsi insisi atau biopsi cakot (punch) dilakukan bila tumor besar (>1 cm)
-       Biopsi eksisi dilakukan pada tumor yang kecil ( 1 cm atau kurang) (Suyatno, 2010).

2.7  PENATALAKSANAAN
      Penatalaksanaan bervariasi dengan sifat dari lesi, cara yang dipilih dokter, dan pilihan pasien:
1.      Lesi kecil (T1, T2) terapi utama adalah pembedahan dan radioterapi. Radioterapi mungkin dapat memberiikan hasil kuratif pada lesi T1 dan T2 dengan preservasi struktur anatomi dan fungsi yang normal. Namun radioterapi sering menimbulkan kompllikasi berupa edema lidah yang memerlukan trakeostomi, xerostomia, disgeusia dan osteoradionekrosis, hal ini mengakibatkan tindakan kurang diminati (Suyatno, 2010).
Komplikasi akut yang dapat terjadi adalah:
1.        Mukositis : Mukositis oral merupakan inflamasi pada mukosa mulut berupa eritema dan adanya ulser yang biasanya ditemukan pada pasien yang mendapatkan terapi kanker. Biasanya pasien mengeluhkan rasa sakit pada mulutnya dan dapat mempengaruhi nutrisi serta kualitas hidup pasien.
2.        Kandidiasis : Pasien radioterapi sangat mudah terjadi infeksi opurtunistik berupa kandidiasis oral yang disebabkan oleh jamur yaitu Candida albicans. Infeksi kandida ditemukan sebanyak 17-29% pada pasien yang menerima radioterapi.
3.        Dysgeusia adalah respon awal berupa hilangnya rasa pengecapan, dimana salah satunya dapat disebabkan oleh terapi radiasi.
4.         Xerostomia : Xerostomia atau mulut kering dikeluhkan sebanyak 80% pasien yang menerima radioterapi. Xerostomia juga dikeluhkan sampai radioterapi telah selesai dengan rata-rata 251 hari setelah radioterapi. Bahkan tetap dikeluhkan setelah 12-18 bulan setelah radioterapi tergantung pada dosis yang diterima kelenjar saliva dan volume jaringan kelenjar yang menerima radiasi.
Komplikasi kronis adalah:
1.      Karies gigi : Karies gigi dapat terjadi pada pasien yang menerima radioterapi. Karies gigi akibat paparan radiasi atau yang sering disebut dengan karies radiasi adalah bentuk yang paling destruktif dari karies gigi, dimana mempunyai onset dan progresi yang cepat. Karies gigi biasanya terbentuk dan berkembang pada 3-6 bulan setelah terapi radiasi dan mengalami kerusakan yang lengkap pada semua gigi pada periode 3-5 tahun.
2.      Osteoradionekrosis : Osteoradionekrosis (ORN) merupakan efek kronis yang penting pada radioterapi. Osteoradionekrosis adalah nekrose iskemik tulang yang disebabkan oleh radiasi yang menyebabkan rasa sakit karena kehilangan banyak struktur tulang.
3.      Nekrose pada jaringan lunak : Komplikasi oral kronis lain yang dapat terjadi adalah nekrose pada jaringan lunak, dimana 95% kasus dari osteoradionekrosis berhubungan dengan nekrose pada jaringan lunak. Nekrose jaringan lunak didefinisikan sebagai ulser yang terdapat pada jaringan yang terradiasi, tanpa adanya proses keganasan (maligna). Evaluasi secara teratur penting dilakukan sampai nekrose berkurang, karena tidak ada kemungkinan terjadinya kekambuhan. Timbulnya nekrose pada jaringan lunak ini berhubungan dengan dosis, waktu, dan volume kelenjar yang terradiasi.
  Reaksi akut terjadi selama terapi dan biasanya bersifat reversibel, sedangkan reaksi yang bersifat kronis biasanya terjadi menahun dan bersifat irreversibel.
2.      Terapi pembedahan pada kanker lidah adalah eksisi luas dengan batas sayatan bebas tumor (konfirmasi potong beku). Tindakan ini memerlukan partial glosectomy dan umumnya pasca operasi fungsi baik. Lokal kontrol untuk 5 tahun pada T1 adalah 85% dan T2 adalah 80%. Pada T3 dan T4 terapi utama adalah pembedahan. Hasil kuratif hanya bisa dicapai dangan reseksi en bloc yang komplet daris emua tumor dan jaringan sekitar dengan sayatan secara mikroskopis bebas tumor. RND (Radical Neck Dissection) harus dilakukan pada klinis N positif, RND adalah pengangkatan kelenjar getah bening leher level I sampai V, musculus sternokleidomastoid, vena jugularis interna, dan nervus assesoris (en bloc). Batas diseksi, superior adalah musculus trapezius, anterior adalah tepi lateral musculus sternohiod dan batas bagian dalam adalah fasia servikal yang menutupi musculus levator scapulae dan scalenus. SND (selective neck dissection) level 1-3 dilakukan pada N0  SND harus dilakukan oleh tingginya insiden occult metastasis kelenjar getah bening leher. SND adalah pengangkatan kelenjar getah bening pada level tertentu yang mempunyai risiko tinggi metastasis dengan mempertahankan nervus assesorius, vena jugularis interna dan musculus sternokleidomastoid. Pembedahan memberikan kuratifitas yang lebih baik dibandigkan radioterapi dan memungkinkan untuk evaluasi patologi dari faktor prognositik. Terkadang dibutuhkan rekonstruksi langsung (myocutaneous flap atau vacular free flap) untuk mempertahankan fungsi dan kosmetik (Suyatno, 2010).
              Reseksi pembedahan pada kanker mulut mencakup mandibulectomi parsial, hemiglossectomi atau total glossectomi, dan resection bagian dasar mulut dengan buccal mukosa. Prosedur pembedahan mencakup pembedahan leher dengan pengangkatan otot leher lain, vena jugularis interna, kelenjar gondok, kelenjar submandibular, dan saraf spinal tambahan. Penanganan pasien yang menderita kanker mulut dikelola oleh seluruh tim kesehatan. Rujukan pada terapi bicara, terapi pekerjaan, psikolog, dan ahli diet sangat penting karena berhubungan dengan masalah yang mungkin muncul berikut ini yaitu komunikasi verbal, mengunyah, dan menelan yang membawa perubahan tampilan diri serta harga diri. (Charlene J. Reeves, 2001).
3.    Kemoterapi
Pemberian kemoterapi pada kanker nasofaring diindikasikan pada kasus penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastasis jauh dan kasus-kasus residif. Kemoterapi dapat diberikan sebelum (neoadjuvan), selama (concurrent) atau setelah (adjuvan) pemberian kemoterapi. Regimen keomterapi aktif antara lain: cisplatin, 5-fluorouracil (5-FU), doxorubicin, epirubicin, bleomycin, mitoxantron, methotrexate dan alkaloid vinca.
Dasar pemberian kemoterapi neoadjuvan/ induksi kemoterapi dengan radioterapi ada 2. Pertama: reduksi sitotoksik tumor primer dan kelenjar dapat meningkatkan kontrol lokoregional. Kedua: eradikasi mirometastase sistemik pada stadium dini dapat mengurangi relaps metastasis jauh. Pemberian kemoterapi saat siklus radioterapi (concominant) menawarkan potensi sensitivitas tumor terhadap radiasi dan juga kemungkinan eradikasi mikrometastase. Akan tetapi juga menawarkan peningkatan resiko toksisitas. Tujuan kemoterapi adjuvan yang diberikan setelah radioterapi adalah untuk mengurangi tingginya tingkat kegagalan terhadap metastase jauh.
Sampai sekarang regimen dengan dasar platinum merupakan standart kemoterapi pada pasien kanker nasofaring dengan metastase, terapi lini pertama yang paling banyak digunakan adalah kombinasi cisplatin dan 5-FU, yang mencapai rasio respon 66%-76%. Kombinasi platinum dengan bahan baru seperti gemcitabine atau paclitaxel telah menunjuukan respon yang baik. Adapun efek samping dari kemoterapi antara lain : efek toksix pada sumsum tulang dan dapat mengakibatkan neutropenia, trombositopenia, anemia, infeksi telinga tengah, sinusitis, faringitis, diare, perdarahan ulkus gastrointestinal(melena, hematemesis), stomatitis, mual muntah, alopesia, sterilitas(kemandulan sementara atau permanen).

2.8  Prognosis
Karsinoma lidah yang kecil tanpa ada metastasis kelenjar getah bening adalah baik. Namun bila sudah ada metastasis ke kelanjar getah benning prognosanya memburuk. Untuk lesi T1 dan T2 rata-rata disease free survival 5 tahun adalah 80-90 % dengan terapi kuratif. Rata-rta survival 5 tahuan untuk stadium III dan IV adalah 30-50%. Adanya metastasis ke kelenjar getah bening leher menurunkan survival 15-30%. Unutk evaluasi prognosis dan hasil terapi yang lebih baik, beberapa penelitian memperhatikan faktor pertumbuhan dan tumor marker. Over ekspresi dari EGFR (epidermal growth factor) yang sangat bermanfaat untuk memprediksikan hasil terapi dan survival (Suyatno, 2010).









BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1  PENGKAJIAN
1.      Identitas Pasien
Nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, nomor register, tanggal masuk, dan nama penanggung jawab pasien elama dirawat.
2.      Riwayat kesehatan
a)   Keluhan utama
Luka pada lidah yang tidak sembuh-sembuh.
b)   Riwayat penyakit sekarang
Luka pada lidah yang tidak sembuh-sembuh. Kemudian membesar dan menekan atau menginfiltrsi jaringan sekita yang megakibatkan nyeri lokal, otalgia ipsilateral dan nyeri mandibula.
c)   Riwayat penyakit dahulu
1.      Tembakau: 80% penderita kanker lidah adalah perokok. Risiko perokok adalah 5-9 kali lebih besar dibandingkan bukan perokok.
2.      Alkoholisme: peminum berat mempunyai risiko 30 kali lebih besar dan efeknya sinergis dengan merokok.
3.      Infeksi virus dalam rongga mulut: Human papilloma virus (HPV) khususnya HPV 16 dan HPV 18.
4.      Oral hygiene yang jelek.

3.      Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing)
Sesak napas, RR meningkat, penggunaan otot bantu pernafasaan.
B2 (Blood)
Takikardia, Hipertensi (nyeri hebat).
B3 (Brain)
Gangguan saraf IX & X (penurunan reflek menelan), saraf XII (gerakan lidah terganggu.
B4 (Bladder)
Dalam batas normal
B5 (Bowel)
Anoreksia, nafsu makan menurun, nyeri telan, perubahan berat badan.
B6 (Bone)
Dalam batas normal.
4.      Pemeriksaan diagnostik
a)   Ultrasound yaitu dipakai untuk menilai massa superficial.
b)   CT scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) yaitu digunakan untuk lesi lebih dalam dan menilai struktur lebih dalam pada tumor dan menunjukkan apakah terdapat metastase atau tidak. (Charlene J. Reeves, 2001)

3.2  DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.      Nyeri (akut) berhubungan dengan ulkus pada lidah akibat kanker.
  1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan orofaring akibat pembesaran tumor.
  2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesukaran menelan.

3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN
  1. Nyeri (akut) berhubungan dengan ulkus pada lidah akibat kanker.
    Tujuan  : Rasa nyeri teratasi atau terkontrol
    Kriteria hasil    :
·       Mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri
·       Melaporkan penghilangan nyeri maksimal/kontrol.
Intervensi:
  1.  Berikan tindakan kenyamanan (misal: gosok punggung) dan kativitas hiburan (misal: musik, televisi).
R/ meningkatkan relaksasi dan membantu menfokuskan kembali perhatian.
  1. Dorong penggunaan keterampilan manajemen nyeri (misal: teknik relaksasi, visualisasi).
R/ memungkinkan pasien untuk berpartisipasi secara aktif dan meningkatkan rasa kontrol.
  1. Kolaborasi dengan dokter dalam terapi analgesik (morfin, metadon).
R/ nyeri adalah komplikasi sering dari kanker, meskipun respon individu berbeda.

  1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan orofaring akibat pembesaran tumor.
Tujuan : perbaikan dalam pola nafas.
Kriteria Hasil : RR 16- 24 x/menit, tidak menggunakan otot bantu pernapasan dan tidak sesak.
Rencana Tindakan:
1.      Ajarkan pasien pernafasan diafragmatik dan pernafasan bibir
Rasional : Membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi. Dengan teknik ini pasien akan bernafas lebih efisien dan efektif.
2.      Berikan O2 tambahan
Rasional : membantu menstabilkan pola napas
3.      Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dan periode istirahat
Rasional :  memungkinkan pasien untuk melakukan aktivitas tanpa distres berlebihan.
4.      Berikan dorongan penggunaan pelatihan otot-otot pernafasan jika diharuskan
Rasional : menguatkan dan mengkondisikan otot-otot pernafasan.


  1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesukaran menelan.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi


Kriteria hasil :
1.    Berat badan meningkat.
2.    Nafsu makan meningkat.

      Intervensi:
    1. Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan
kesukaan dan toleransi pasien.
R/ Memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
    1.  Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.
R/ Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya hipoglikemia/hiperglikemia.
    1. Berikan oral hygiene.
R/ Meningkatkan nafsu makan.
    1. Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan
masukan cairan adekuat.
R/ Jenis makanan ini akan meningkatkan pemenuhan nutrisi tanpa meningkatkan stimulus pada pencernaan.
    1. Kolaborasi dengan spesialis THT untuk pemasangan nasogastrik tube.
R/ Memenuhi kebutuhan nutrisi.
 
Daftar Pustaka

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC. Jakarta.

Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.

Roezin Averdi. 2004. Ilmu Penyakit Telinga-Hidung-Tenggorok. Jakarta: FKUI.

Roezin, Averdi. 2003. Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga-Hidung-Tenggorok. Jakarta: FKUI.

Schrock, Theodore. 1995. Ilmu Bedah (Handbook Of Surgery). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sjamsuhidayat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Suyatno. 2010. Bedah Onkologi Diagnostik dan Terapi. Jakarta: Sagung Seto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar