BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Otitis
media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Gangguan telinga yang paling
sering adalah infeksi eksterna dan media. Sering terjadi pada anak-anak dan
juga pada orang dewasa (Soepardi, 1998). Otitis media juga merupakan salah satu
penyakit langganan anak. Prevalensi terjadinya otitis media di seluruh dunia
untuk usia 10 tahun sekitar 62 % sedangkan anak-anak berusia 3 tahun sekitar 83
%. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75 % anak mengalami minimal 1 episode
otitis media sebelum usia 3 tahun dan hampir setengah dari mereka mengalaminya
3 kali atau lebih. Di Inggris, setidaknya 25 % anak mengalami minimal 1 episode
sebelum usia 10 tahun ( Abidin, 2009. Di negara tersebut otitis media paling
sering terjadi pada usia 3-6 tahun
Otitis
media kronik adalah keradangan kronik yang mengenai mukosa dan struktur tulang
di dalam kavum timpani. Otitis media kronik dalam masyarakat Indonesia dikenal
dengan istilah ini merupakan penyakit yang biasa yang nantinya akan sembuh
sendiri. Penyakit ini pada umumnya tidak memberikan rasa sakit kecuali apabila
sudah terjadi komplikasi congek, teleran atau telinga berair.
Prevalensi
OMK di dunia berkisar antara 1 sampai 46 % pada komunitas masyarakat kelas
menengah ke bawah di negara-negara berkembang. Adanya prevalensi OMK lebih dari
1% pada anak-anak di suatu komunitas menunjukkan adanya suatu lonjakan
penyakit, namun hal ini dapat diatasi dengan adanya pelayanan kesehatan
masyarakat.
Otitis media kronik terjadi secara perlahan-lahan namun dalam jangka waktu yang lama. Dengan demikian, dalam penanganannya memerlukan suatu kecermatan dan ketepatan agar dapat dicapai penyembuhan yang maksimal
Otitis media kronik terjadi secara perlahan-lahan namun dalam jangka waktu yang lama. Dengan demikian, dalam penanganannya memerlukan suatu kecermatan dan ketepatan agar dapat dicapai penyembuhan yang maksimal
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Definisi Otitis Media Kronik (OMK)
Otitis media kronis
adalah infeksi menahun pada telinga tengah. Kondisi yang berhubungan dengan
patologi jaringan irrefersibel dan biasanya disebabkan oleh episode berulang otitis
media akut yang tak tertangani. Otitis media adalah proses peradangan ditelinga
tengah dan mastoid yang menetap > 12 minggu. Otitis media kronik adalah
peradangan telinga tengah yang gigih, secara khas untuk sedikitnya 1bulan.
Orang awam biasanya menyebut congek (Alfatih, 2007).
2.2 Etiologi
Otitis media kronis
terjadi akibat adanya lubang pada gendang telinga (perforasi) (Mediastore,
2009). Perforasi gendang telinga bisa disebabkan oleh: otitis media akut
penyumbatan tuba eustacius cedera akibat masuknya suatu benda ke dalam telinga
atau akibat perubahan tekanan udara yang terjadi secara tiba-tiba luka bakar
karena panas atau zat kimia. Bisa juga disebabkan, antara lain:
1.
Stapilococcus
2.
Diplococcus pneumonie
3.
Hemopilus influens
4.
Gram Positif : S. Pyogenes, S. Albus
5.
Gram Negatif : Proteus spp, Psedomonas
spp, E. Coli.
6.
Kuman anaerob : alergi, diabetes mellitus, TBC paru.
Sedangkan
penyebab lain, yaitu:
1.
Lingkungan
Kelompok
sosial ekonomi rendah memiliki insiden OMK lebih tinggi.
2.
Genetik
Luasnya
sel mastoid yang dapat dikaitkan dengan faktor genetik. Sistem-sel-sel udara mastoid
lebih kecil pada penderita otitis media.
3.
Riwayat otitis media sebelumnya
Otitis media kronik
merupakan kelanjutan dari otitis media akut atau otitis media dengan efusi,
tapi tidak diketahui
4.
Infeksi
Organisme
yang terutama dijumpai adalah bakteri Gram (-), flora tipe usus, dan beberapa
organisme lainnya.
5.
Infeksi saluran nafas atas
Infeksi
virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya daya
tahan tubuh terhadap organisme yangs ecara normal berada dalam telinga tengah,
sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.
6.
Autoimun
Memiliki
insiden lebih besar terhadap OMK.
7.
Alergi
Penderita
alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang
bukan alergi.
8.
Gangguan fungsi tuba eustacius
Pada
telinga yang inaktif berbagai metoda telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi
tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tidak mungkin mengembalikan
tekanan menjadi negatif.
2.3 Manifestasi
Klinis
Gejala berdasar tipe Otitis Media Kronik:
1. Otitis
Media Kronik (OMK) tipe benigna
Gejala berupa discharge mukoid yang tidak terlalu
berbau busuk, ketika pertama kali ditemukan bau busuk mungkin ada tetapi dengan
pembersihan dan penggunaan antibiotik lokal biasanya cepat hilang, discharge
mukoid dapat konstan atau intermitten.
Gangguan pendengaran konduktif selalu di dapat pada
pasien dengan derajat ketulian tergantung beratnya kerusakan tulang-tulang
pendengaran dan koklea selama infeksi nekrotik akut pada awal penyakit.
perforasi membran timpani terbatas pada mukosa
sehingga membran mukosa menjadi berbentuk garis dan tergantung derajat infeksi
membran mukosa dapat tipis dan pucat atau merah dan tebal, kadang suatu polip
di dapat tapi mukoperiosteum yang tebal dan mengarah pada meatus menghalangi
pandangan membran timpani dan telinga tengah sampai polip tersebut diangkat.
Discharge terlihat berasal dari rongga timpani dan orifisium tuba eustachius
yang mukoid dan setelah satu atau dua kali pengobatan lokal bau busuk akan
berkurang. Cairan mukus yang tidak terlalu bau, datang dari perforasi besar
tipe sentral dengan membran mukosa yang berbentuk garis pada rongga timpani
merupakan diagnosa khas pada OMKS tipe benigna.
2. Otitis
Media Kronik (OMK) dengan kolesteatoma
Kolesteatoma
atau benjolan mutiara (tumor mutiara) disebabkn oleh pertumbuhan kulit liang telinga atau lapisan epitel gendang
telinga yang masuk ke telinga tengah atau mastoid. Mengenai patogenesisnya
secara tepat, dalam kurun waktu bertahun- tahun, ada banyak spekulasi serta
banyak macam teori.
Kolesteatoma
dapat tumbuh masuk mellui pars flakisda(membrn shrapnell) maupun melalui pars
tensa. Selaput gendang telinga mendesak ke dalam dan melekat pada dinding
medial atik atau dengan rangkaian tulang pendengaran. Akibatnya timbul retraksi
berupa kantong pada gendang telinga, karena epitel mati tertimbun secara
berlapis. Sumbatan debris yang demikian tidak dapat lagi tumbuh secra alami
keluar bersama bersama gendang telinga, sehimgga seolah-olah terperangkap dalam
struktur telinga tengah. Akibat penimbunan epitel yang progresif itu sumbatan
jaringan memberi tekanan pada tulang sekitarnya, sehingga lama-lama jaringan
tulang ini pun mengalami erosi. Kadang-kadang, proses ini berjaln tanda gejala,
namun sering timbul infeksi sekunder dengan keluhan mengeluarkan cairan telinga
yang berbau, gangguan pendengaran, atau komplikasi yang disebaban oleh
kerusakan yang disebabkan oleh kerusakan pada n. Fasialis atau labirin. Pada
pemeriksaan otoskopi, ditemukan debris epitel dalam liang telinga. Di
belakangnya tampak kolesteatoma dengan sisik kreatin putih. Kadang-kadang,
tampak granulasi atau polip di dalam lubang perforasi (kadang-kadang disebut
pertanda polip).
Kolesteatoma
dapat tumbuh ke dalam os petrosum, bahkan intrakranial. Rasa pusing yang di
provokasi oleh tekanan pada liang telinga luar merupakan tanda bahwa ada
hubungan terbuka dengan labirin.(gejala fistula positif).
Pengobatan
koleasteatoma hampir mengeluarkannya secara operatif. Pad pasien usia lanjut,
pada umumnya pembentukan kolesterol lambat. Lekukan yang berup kantong itu
dapat di bersihkan di bawah mikroskop
dengan alat penghisap secara teratur.
Adapula
bentuk koleasteotoma “primer”, disebut koleasteotoma kongenital, yang terbentuk
dari sel-sel benih (kiembladcellen) dalam os petrosis yang dalam sekali. Dalam
hal ini tidak tampak adanya lubang perrforasi pada gendang telinga.
2.4 Patofisiologi
Ada celah/ liang tengah
yang pneumatisasinya terhalang. Diduga tuba eustachius tidak berhasil membuka
secukupnya sehingga tekanan udara diruang kedua sisi gendang telinga tengah
lebih rendah dari pada udara telinga luar. Otitis media yang berulang akan
menghancurkan pars tensa dan tulang pendengaran, luasnya kerusakan tergantung
dari berat dan seringnya penyakit kambuh. Prosessus longus inkus menderita
paling dini karena aliran darah kedaerah ini berkurang. Infeksi sekunder oleh
bakteria dari liang telinga luar menyebabkan keluarnya cairan yang menetap.
2.5 Pemeriksaan
Diagnostik
1. Otoskop,
dilakukan untuk menegakkan diagnosis berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan
telinga dengan.
2. Pembiakan
terhadap cairan yang keluar dari telinga, berfungsi untuk mengetahui organisme
penyebabkan otitis media kronik (OMK)
3. Rongen
mastoid atau CT scan kepala untuk mengetahui adanya penyebaran infeksi ke struktur
disekeliling telinga.
4. Tes
Audiometri dilakukan untuk mengetahui adanya penurunan pendengaran
5. X-ray
dikukan terhadap kalestatoma dan kekaburan mastoid.
2.6 Penatalaksanaan
1. OMK
Benigna
a. OMSK
Benigna Tenang
Pemberian healt education dengan
tidak mengorek telinga, tidak memasukkan air ke dalam telinga saat mandi, tidak
berenang saat fase-fase pengobatan. Tindakan selanjutnya lakukan operasi
rekonstruksi (miringioplasti, timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang
dan gangguan pendengaran).
b. OMSK
Benigna Aktif
1)
Pembersihan liang telinga dan kavum
timpani (toilet telinga).
Hal ini dilakukan agar lingkungan
yang tidak sesuai untuk perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga
merupakan media yang baik bagi perkembangan mikroorganisme.
2)
Pemberian antibiotik topikal
Antibiotik topikal berupa
Polimiksin B atau polimiksin E, Neomisin, Kliramfenikol, Koli 96%,
3)
Pemberian antibiotik sistemik
Diberikan berdasarkan kultur kuman
penyakit. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai
pembersihan sekret profus.
2. OMK
MALIGNA
Tindakan
yang tepat untuk OMK adalah operasi. Jenis pembedahan atau tehnik operasi yang
dapat dilakukan yaitu:
a. Mastoiditis
sederhana
b. Mastoidektomi
radikal
c. Mastoidektomi
radikal dengan modifikasi (Operasi Bondy)
d. Miringioplasti
e. Timpanoplasti
f. Timpanoplasti
dengan pendekatan ganda
2.7 Komplikasi
Menurut
Shangbough (2003) komplikasi OMK terbagi atas:
a. Komplikasi
Intratemporal
· Perforasi
membran timpani
· Mastoiditis
akut
· Parese
nervus fasialis
· Labrinitis
· Petrositis
b. Komplikasi
Ekstratemporal
· Abses
subperiosteal
c. Komplikasi
Intrakranial
· Abses
otak
· Tromboflebitis
· Hidrocepalus
otikus
· Empiema
subdural/ ekstradural
2.8 WOC
( terlampir)
2.9 Asuhan Keperawatan
2.9.1 Pengkajian
A. Pengumpulan Data
1. Riwayat
a)
Identitas Pasien
b) Riwayat
adanya kelainan nyeri
c)
Riwayat infeksi saluran nafas atas yang
berulang
d) Riwayat
alergi.
e)
OMA berkurang.
2. Pengkajian Fisik
a)
Nyeri telinga
b)
Perasaan penuh dan penurunan pendengaran
c)
Suhu Meningkat
d)
Malaise
e)
Nausea Vomiting
f)
Vertigo
g)
Ortore
h)
Pemeriksaan dengan otoskop tentang
stadium.
3. Pengkajian Psikososial
a)
Nyeri otore berpengaruh pada interaksi
b)
Aktifitas terbatas
c)
Takut menghadapi tindakan pembedahan.
4. Pemeriksaan Laboratorium.
5. Pemeriksaan Diagnostik
a)
Tes Audiometri : AC menurun
b)
X ray : terhadap kondisi patologi
Misal
: Cholesteatoma, kekaburan mastoid.
6. Pemeriksaan pendengaran
a)
Tes suara bisikan
b)
Tes garputala
2.9.2 Diagnosa Keperawatan
1.
Perubahan
persepsi/sensoris berhubungan dengan gangguan lewatnya gelombang suara.
Tujuan : Persepsi / sensoris baik.
Kriteria hasil :
Klien akan mengalami peningkatan persepsi/sensoris
pendengaran sampai pada tingkat fungsional.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1. Ajarkan
klien untuk menggunakan dan merawat alat pendengaran secara tepat.
2. Instruksikan
klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman sehingga dapat mencegah
terjadinya ketulian lebih jauh.
3. Observasi
tanda-tanda awal kehilangan pendengaran yang lanjut.
4. Instruksikan
klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotik yang diresepkan (baik itu
antibiotik sistemik maupun lokal).
|
1. Keefektifan
alat pendengaran tergantung pada tipe gangguan/ketulian, pemakaian serta
perawatannya yang tepat.
2. Apabila
penyebab pokok ketulian tidak progresif, maka pendengaran yang tersisa
sensitif terhadap trauma dan infeksi sehingga harus dilindungi.
3. Diagnosa
dini terhadap keadaan telinga atau
terhadap masalah-masalah pendengaran
rusak secara permanen.
4. Penghentian
terapi antibiotika sebelum waktunya dapat menyebabkan organisme sisa
berkembang biak sehingga infeksi akan berlanjut.
|
2. Cemas berhubungan dengan prosedur operasi,
diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan
pendengaran lebih besar setelah operasi.
Tujuan : Rasa cemas klien akan berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
T Klien
mampu mengungkapkan ketakutan/kekuatirannya.
T Respon
klien tampak tersenyum.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
|
1. Menunjukkan
kepada klien bahwa dia dapat berkomunikasi dengan efektif tanpa menggunakan
alat khusus, sehingga dapat mengurangi rasa cemasnya.
2. Harapan-harapan
yang tidak realistik tiak dapat mengurangi kecemasan, justru malah menimbulkan ketidak percayaan
klien terhadap perawat.
3. Memungkinkan
klien untuk memilih metode komunikasi yang paling tepat untuk kehidupannya
sehari-hari disesuaikan dnegan tingkat keterampilannya sehingga dapat
mengurangi rasa cemas dan frustasinya.
4. Dukungan
dari bebarapa orang yang memiliki pengalaman yang sama akan sangat membantu
klien.
5. Agar
klien menyadari sumber-sumber apa saja yang ada disekitarnya yang dapat
mendukung dia untuk berkomunikasi.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar